Selasa, 22 Desember 2015

NESIA COMMUNITY - D4F Penipuan?

DREAM FOR FREEDOM

Cukup banyak orang yang mengklaim bahwa Nesia Community melalui sistem D4F (Dream For Freedom) adalah sebuah komunitas yang berkedok penipuan, terutama via medsos dan online lainnya.
Beberapa situs saya menemukan tulisan-tulisan negatif yang mengarah pada Komunitas NESIA-D4F. Setelah saya pelajari, rupanya tulisan-tulisan tersebut lebih mengarah kepada sebuah FITNAH. Mengapa saya katakan demikian? karena sejak bulan Mei hingga Agustus 2015 di mana pada bulan-bulan itu begitu gencar serangan yang dilakukan para negatron untuk menjatuhkan komunitas ini. Namun, segala anggapan, tuduhan dan fitnahan justeru tidak terbukti, malahan Komunitas NESIA semakin dirasakan dampak positifnya oleh hampir setengah juta anggota saat ini.
Pada bulan November 2015, beberapa situs yang selalu menyerang mulai tidak tampak melempar tuduhan seperti sebelumnya, bahkan di bulan Desember hampir hilang, kecuali blog pribadi gratisan http://blogyopanprihadi.blogspot.co.id/ hingga saat ini mesih belum kapok menyerang tanpa dasar yang jelas.
Sungguh lucu bila membaca semua postingan Saudara Yopan Prihadi (pemilik http://blogyopanprihadi.blogspot.co.id/). Ia terlihat seperti orang yang sedang SAKIT HATI dan STRESS tingkat tinggi melihat perkembangan NESIA Community yang begitu dahsyat. Terlebih-lebih kalau Ia nanti masih sempat menyaksikan gebrakan program NESIA yang akan diluncurkan di 2016 mendatang.

Kawan-kawan semua anggota Komunitas NESIA.
Perlu kita sadari bahwa Komunitas NESIA adalah sebuah komunitas yang bercirikan Ekonomi Gotong Royong yang dikendalikan oleh sistem D4F yang spektakuler. Komunitas ini dibentuk atas dasar niat baik dan ikhlas (bukan untuk penipuan) oleh pendirinya untuk kemajuan bersama yang tidak secara langsung akan berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi bangsa ini. Tentu niat baik ini diperlukan dukungan dari semua calon dan/atau anggota komunitas agar tujuan bersama ini dapat kita wujudkan untuk kita nikmati bersama pula.

Memang benar, perjuangan menuju sukses tidak gampang. Banyak rintangan yang akan menyertainya, tetapi yakin saja, jika kita mampu menahan bahkan melewati rintangan tersebut pasti impian kita akan terwujud, Insya Allah.
Hanya ada dua pilihan untuk menuju sukses bersama NESIA Community - D4F yang tentunya ada resiko keduanya (mengutip perkataan Owner: Fili Muttaqien), yakni pilihan menjadi rumput atau menjadi pohon.
Pertama: Jika memilih menjadi rumput, maka siap-siaplah kita untuk diinjak-injak sampai kita tak berdaya.
Kedua: Jika memilih menjadi pohon, maka bersiaplah pula untuk ditiup angin kencang yang mungkin dapat merobohkannya, Semakin tinggi pohon itu maka semakin tinggi pula peluang mendapat tiupan angin kencang tersebut. Namun perlu dipahami bahwa ketika pohon tersebut tak meroboh dan kemudian berbuah, maka yakinlah pohon itu akan dapat dinikmati oleh semua orang yang menginginkannya.

Pilihan menjadi Pohon menurut saya adalah piliha tepat. Walaupun resikonya besar tetapi ketika kita mampu bertahan Insya Allah kelak akan bermanfaat bagi diri, keluarga, dan orang lain.

Mari...!!! kita jadikan NESIA Community menjadi pohon yang tinggi. Biarkan orang-orang BARISAN SAKIT HATI menyerang kita. FOKUSLAH kepada tujuan kita. Upaya mencapai tujuan diperlukan Ikhtiar dan tentunya dibarengi dengan Tawakkal. Insya Allah kita semua akan menjadi orang bahagia dunia akhirat. Aamiin.

Salam NESIA....
Salam D4F....
Salam Sejuta partisipan....
Salam sejahtera untuk kita semua...

Selasa, 11 September 2012

PEMAHAMAN SEBAGAI PERNYATAAN HASIL BELAJAR


Seringkali seseorang menemui kesulitan dalam menguraikan konsep "pemahaman" yang nantinya akan menjadi sebuah landasan teori dalam penulisan karya ilmiah. Tetapi tidak perlu dikwatirkan, kali ini saya akan menguraikan konsep pemahaman itu sendiri. Semoga artikel yang sederhana ini dapat membantu saudara-saudara yang hendak mencari landasan-landasan teori tentang "definisi pemahaman". Simak uraian berikut ini.
Pada hakikatnya, pemahaman merupakan salah satu bentuk hasil belajar. Pemahaman ini terbentuk akibat dari adanya proses belajar. Pemahaman berasal dari kata dasar paham yang berarti mengerti. Menurut Fajri dan Senja (2008), pemahaman berarti proses perbuatan cara memahami (dalam http://ian43.wordpress.com/2010/12/17/pengertian-pemahaman/). Sedangkan Depdikbud (1994) menjelaskan bahwa kata paham dapat berarti: (1) pengertian; pengetahuan yang banyak, (2) pendapat, pikiran, (3) aliran; pandangan, (4) mengerti benar (akan); tahu benar (akan); (5) pandai dan mengerti benar. Apabila mendapat imbuhan me- i menjadi memahami, berarti : (1) mengerti benar (akan); mengetahui benar, (2) memaklumi. Dan jika mendapat imbuhan pe- an menjadi pemahaman, artinya (1) proses, (2) perbuatan, (3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham) (dalam http://ian43.wordpress.com/2010/12/17/pengertian-pemahaman/).
Dalam kamus psikologi, kata pemahaman berasal dari kata insight yang mempunyai arti wawasan, pengertian pengetahuan yang mendalam. Jadi, arti dari insight adalah suatu pemahaman atau penilaian yang beralasan mengenai reaksi-reaksi pengetahuan atau kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki seseorang (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2203596-pengertian-pemahaman/).
Pemahaman berarti mengerti benar atau mengetahui benar. Pemahaman dapat juga diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran. Karena itu, maka belajar berarti harus mengerti secara mental makna dan filosofinya, maksud dan implikasi serta aplikasi-aplikasinya, sehingga menyebabkan siswa memahami suatu situasi. Hal ini sangat penting bagi siswa yang belajar. Memahami maksudnya, menangkap maknanya, adalah tujuan akhir setiap mengajar. Pemahaman memiliki arti sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian belajar pada porsinya. Tanpa itu, maka pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak akan bermakna.
Partowisastro (1983: 22-24) mengemukakan empat macam pengertian pemahaman, yakni sebagai berikut: (1) pemahaman berarti melihat hubungan yang belum nyata pada pandangan pertama; (2) pemahaman berarti mampu menerangkan atau dapat melukiskan tentang aspek-aspek, tingkatan, sudut pandangan-pandangan yang berbeda; (3) pemahaman berarti memperkembangkan kesadaran akan faktor-faktor yang penting; dan (4) berkemampuan membuat ramalan yang beralasan mengenai tingkah lakunya.
Berdasarkan urian-uraian di atas dapat dipahami bahwa pemahaman merupakan kemampun diri dalam mengerti atau mengetahui dengan benar terhadap sesuatu. Kemampuan memahami ini menjadi bagian penting dalam mengetahui atau mempelajari sesuatu. Belajar dengan mengharapkan sesuatu hasil yang baik, tidak cukup hanya sebatas kemampuan mangetahui. Seseorang memiliki pengetahuan atau mengetahui sesuatu, namun belum pasti ia memahaminya. Tetapi, seseorang yang memiliki pemahaman, sudah tentu ia mengetahuinya. Jadi, pemahaman masih lebih tinggi tingkatannya daripada pengetahuan.
Usman (2002: 35) melibatkan pemahaman sebagai bagian dari domain kognitif hasil belajar. Ia menjelaskan bahwa pemahaman mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berpikir yang rendah. Selanjutnya, Sudjana (2010: 24) membagi pemahaman ke dalam tiga kategori, yakni sebagai berikut: (a) tingkat pertama atau tingkat terendah, yaitu pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti sebenarnya; (b) tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dan yang bukan pokok; dan (c) pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi, yakni pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan mampu melihat di balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya.
Memperhatikan uraian-uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa pemahaman marupakan salah satu bentuk pernyataan hasil belajar. Pemahaman setingkat lebih tinggi dari pengetahuan atau ingatan, namum pemahaman ini masih tergolong tingkat berpikir renda. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pemahaman diperlukan proses belajar yang baik dan benar. Pemahman siswa akan dapat berkembang bila proses pembelajaran berlangsung dengan efektif dan efisien.

Sumber: 
1)  http://ian43.wordpress.com/2010/12/17/pengertian-pemahaman/; diakses tanggal 3 Juli 2012.
 2)  http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2203596-pengertian-pemahaman/; diakses tanggal 3 Juli 2012.
3)  Partowisastro, Koestoer. 1983. Dinamika dalam Psikologi Pendidikan. (Jilid I). Jakarta: Erlangga.
4)  Sudjana, Nana. 2010. Evaluasi Proses dan Hasil Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
5) Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. (Cet. XIV). Ed. II. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Minggu, 09 September 2012

KONSEP PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL


A.  Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Proses pembelajaran kontekstual beraksentuasi pada pemrosesan informasi, idnividualisasi, dan interkasi sosial. Pemrosesan informasi menyatakan bahwa siswa mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkaitan dengan informasi tersebut. Inti pemrosesan informasi adalah proses memori dan berpikir.
Menurut Susdiyanto, Saat, dan Ahmad (2009: 27), pembelajaran kontekstual adalah proses pembelajaran yang bertolak dari proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, dalam arti bahwa apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, sehingga pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berorientasi pada penciptaan semirip mungkin dengan situasi “dunia nyata”. Melalui pembelajaran kontekstual dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata, sehingga dapat membantu siswa untuk memahami materi pelajaran. Sehubungan dengan itu, Suprijono (2011: 79) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Penjelasan ini dapat dimengerti bahwa pembelajaran kontekstual adalah strategi yang digunakan guru untuk menyampaikan materi pelajaran melalui proses memberikan bantuan kepada siswa dalam memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
Senada dengan itu, Sumiati dan Asra (2009: 14) mengemukakan pembelajaran kontekstual merupakan upaya guru untuk membantu siswa memahami relevansi materi pembelajaran yang dipelajarinya, yakni dengan melakukan suatu pendekatan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan apa yang dipelajarinya di kelas. Selanjutnya, pembelajaran kontekstual terfokus pada perkembangan ilmu, pemahaman, keterampilan siswa, dan juga pemahaman kontekstual siswa tentang hubungan mata pelajaran yang dipelajarinya dengan dunia nyata. Pembelajaran akan bermakna jika guru lebih menekankan agar siswa mengerti relevansi apa yang mereka pelajari di sekolah dengan situasi kehidupan nyata di mana isi pelajaran akan digunakan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia nyata, berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, kreatif, memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasyikkan, tidak membosankan, dan menggunakan berbagai sumber belajar.

B.  Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual memiliki beberapa prinsip dasar. Adapun prinsip-prinsip dalam pembelajaran kontekstual menurut Suprijono (2011: 80-81) adalah sebagai berikut. Pertama; saling ketergantungan, artinya prinsip ketergantungan merumuskan bahwa kehidupan ini merupakan suatu sistem. Lingkungan belajar merupakan sistem yang mengitegrasikan berbagai komponen pembelajaran dan komponen tersebut saling mempengaruhi secara fungsional. Kedua; diferensiasi, yakni merujuk pada entitas-entitas yang beraneka ragam dari realitas kehidupan di sekitar siswa. Keanekaragaman mendorong berpikir kritis siswa untuk menemukan hubungan di antara entitas-entitas yang beraneka ragam itu. Siswa dapat memahami makna bahwa perbedaan itu rahmat. Ketiga; pengaturan diri, artinya prinsip ini mendorong pentingnya siswa mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ketika siswa menghubungkan materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, siswa terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri.
Selanjutnya, Sumiati dan Asra (2009: 18) menjelaskan secara rinci prinsip pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) menekankan pada pemecaham masalah; (2) mengenal kegiatan mengajar terjadi pada berbagai konteks seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja; (3) mengajar siswa untuk memantau dan mengarahkan belajarnya sehingga menjadi pembelajar yang aktif dan terkendali; (4) menekankan pembelajaran dalam konteks kehidupan siswa; (5) mendorong siswa belajar satu dengan lainnya dan belajar bersama-sama; dan (6) menggunakan penilaian otentik.
Lain halnya dengan Nurhadi, ia mengemukakan prinsip-prinsip pembelajara kontekstual yang perlu diperhatikan guru, yakni: (1) merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran mental sosial, (2) membentuk kelompok yang saling bergantung, (3) menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran yang mandiri, (4) mempertimbangkan keragaman siswa, (5) mempertimbangkan multi intelegensi siswa, (6) menggunakan teknik-teknik bertanya untuk meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan masalah, dan ketrampilan berpikir tingkat tinggi, (7) menerapkan penilaian autentik (dalam http://www.sekolahdasaar.net/2011/12/prinsip-pembelajaran-kontekstual.html).
 Merujuk pada prinsip-prinsip di atas, maka pembelajaran kontekstual berorientasi pada upaya membantu siswa untuk menguasai tiga hal, yakni: (1) pengetahuan, yaitu apa yang ada di pikirannya membentuk konsep, definisi, teori, dan fakta; (2) kompetensi atau keterampilan, yaitu kemampuan yang dimiliki untuk bertindak atau sesuatu yang dapat dilakukan; dan (3) pemahaman kontekstual, yaitu mengetahui waktu dan cara bagaiman menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam situasi kehidupan nyata.

C.  Komponen Pembelajaran Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, ada beberapa komponen utama pembelajaran efektif. Komponen-komponen itu merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dalam pembelajaran kontekstul. Komponen-komponen dimaksud adalah konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), permodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). (Nurhadi dalam Sagala, 2009: 88-91; Suprijono, 2011: 85).
1)      Konstruktivisme; yakni mengembangkan pemikiran siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan atau keterampilan barunya. Sumiati dan Asra (2009: 15) mengemukakan lima elemen belajar konstruktivisme, yaitu: (a) pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiating knowledge), (b) perolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge), (c) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), (d) mempraktekkan pengetahuan (applyng knowledge), dan (e) melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (reflecting knowledge).
2)      Bertanya; yakni mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Melalui proses bertanya, siswa akan mampu menjadi pemikir yang handal dan mandiri. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: (a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (b) mengecek pemahaman siswa; (c) membangkitkan respon pada siswa; (d) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; (e) mengetahui hal-hala yang sudah diketahui siswa; (f) memfokuskan pengetahuan siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; (g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan (h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa. (Sagala, 2009: 88).
3)      Menemukan; merupakan bagian inti dari pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya hasil megingat seperangkat fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri.
4)      Masyarakat belajar; yaitu menciptakan masyarakat belajar (belajar daam kelompok). Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu.
5)      Permodelan; menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Dengan adanya model, siswa akan lebih mudah meniru apa yang dimodelkan. Pemodel tidak hanya orang lain, guru atau siswa yang lebih mahir dapat bertindak sebagai model.
6)      Refleksi; dilakukan pada akhir pembelajaran. Refleksi merupakan upaya untuk melihat kembali, mengorganisir kembali, menganalisis kembali, mengklarifikasi kembali, dan mengevaluasi kembali hal-hal yang telah dipelajari.
7)      Penilaian sebenarnya; yaitu upaya pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data dikumpulkan dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan pembelajaran. Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa adalah proyek/kegiatan dan laporannya, PR, kuis, karya siswa, presentasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis, dan karya tulis (Riyanto, 2010: 176).

D.  Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual jika menerapkan komponen utama pembelajaran efektif seperti yang diuraikan di muka. Oleh karena itu, seorang guru perlu mengetahui dan memahami penerapan pembelajara kontekstual itu sendiri. Sagala (2009: 92) dan Riyanto (2010: 168-169) menguraikan langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; (2) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya; (4) menciptakan masyarakat belajar; (5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) melakukan refleksi di akhir pertemuan; (7) dan melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Di sisi lain, berdasarkan Center for Occupational Research and Development (CORD), penerapan strategi pembelajaran kontekstual digambarkan sebagai berikut: (1) Relating, belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. Konteks merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu siswa agar yang dipelajari bermakna; (2) Experiencing, belajar adalah kegiatan “mengalami”, siswa berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya; (3) Applyng, belajar menekankan pada proses pendemonstrasian pengetahuan yang dimiliki dalam kenteks dan pemanfaatannya; (4) Cooperating, belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar berkelompok, komunikasi interpersonal, atau hubungan intersubjektif; dan (5) Transferring, belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru (Suprijono, 2011: 84).

DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Impelementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. (Cet. II). Jakarta: Kencana.
Sagala, Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. (Cet. VII). Bandung: Alfabeta.
Sumiati dan Asra. 2009. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Suprijono, Agus. 2011. Cooperatif Learning, Teori dan Aplikasi PAIKEM. (Cet. V). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susdiyanto, Saat, dan Ahmad. 2009. Strategi Pembelajaran. (Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Makassar: Panitia Sertfikasi Guru Agama Rayon LPTK Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar.